Puluhan tusuk sate berderet di
atas panggangan panjang. Potongan daging kambing kecil-kecil yang ditusuk
jeruji besi, aroma asapnya seolah
mengintimidasi orang-orang di sekitarnya saat panas bara api membakar permukaan daging. Seorang laki-laki
terlihat sangat cekatan menata dan sesekali membolak-balik tusuk sate supaya
matang merata. Dialah Pak Bari, generasi ke tiga penerus usaha kuliner sate
ini.
Jauh-jauh
kami datang dari Perancis, meninggalkan musim panas yang sedang memulai
hangatnya. Hasrat rindu akan kampung halaman telah mengalahkan semarak musim
panas di Negara Benua Eropa itu. Bayangkan, berbulan-bulan lamanya kami
merasakan hawa dingin hingga dibawah 0° Celcius. Dan ini adalah kali pertama
kami pulang kampung setelah setahun lamanya tinggal di sana.
Jauh
dari kampung halaman pasti membuat kita rindu akan banyak hal, salah satunya
makanan. Kebetulan saya dan istri memang suka mencoba tempat kuliner baru. Sate
klathak Pak Bari ini menantang kami untuk mencobanya. Segera, setiba kami di
Jogja, sate klathak inilah yang menjadi destinasi kuliner pertama kami.
Lokasinya
agak jauh dari tempat tinggal kami di Sleman, sekitar 21 kilometer arah ke
selatan. Tepatnya di Pasar Wonokromo, Imogiri, Bantul. Uniknya tempat kuliner
sate klathak ini menempati area sebuah pasar yang pada pagi harinya digunakan
untuk berjualan suku cadang sepeda motor. Oleh karena itu juga jam bukannya
malam hari, mulai dari jam 7 malam.
Karena
jarak yang lumayan jauh, mertua saya meminjamkan satu-satunya kendaraan
miliknya yaitu Daihatsu Ayla. Si putih imut ini saya pacu menjauhi pusat kota demi mencicipi sate klathak di pinggiran kota Jogjakarta yang
melegenda. Ukuran body yang kecil sangat pas ditunggangi kami yang hanya berdua
kala itu. Lajunya juga gesit, sangat cocok untuk melaju di jalan pinggiran kota
yang tidak terlalu lebar.
Setiba
di sana, nampak beberapa pengunjung sudah menempati meja-meja. Padahal warung
satenya belum buka. Konon warung sate ini semakin ramai setelah muncul dalam
sebuah scene film AADC 2 yang dibintangi oleh Dian Sastro sebagai Cinta dan
Nicholas Saputra sebagai Rangga. Kemunculannya dalam scene film tersebut
membuat warung sate ini semakin banyak dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar
Kota Jogja. Deretan mobil bahkan hingga bus wisata katanya merupakan
pemandangan sehari-hari. Bayangkan saja, 50 kg daging yang biasanya baru habis
dini hari, sekarang dapat ludes sebelum pukul 10 malam saja. Tiga jam saja dan
kita nggak bakal kabagian.
Jangan
kaget jika anda mendapati seporsi sate klathak yang anda pesan hanya berisi 2
tusuk saja. Awalnya saya mengira itu adalah sebuah kesalahan, ternyata memang
jumlah tusuk dalam satu porsi cuma dua. Cukup? Tentu saja kurang hehehe. Harga
untuk seporsi sate klathak beserta nasi adalah 20 ribu Rupiah. Oh ya, selain
menu sate klathak ada pula gulai dan nasi goreng kambing.
Soal
rasa, sate klathak ini tiada duanya. Cara memasaknya yang unik dengan bumbu berupa
garam saja, membuat sate ini memiliki cita rasa tersendiri. Kalau tidak
mencobanya sendiri anda tidak akan percaya.
Menurut
cerita, generasi pertama yang berjualan sate ini sudah ada bahkan sebelum
Indonesia merdeka. Namun penggunaan nama Sate Klathak baru ada ketika Pak Bari mulai
berjualan. Tidak sia-sia kami jauh datang dari Perancis untuk mencicipi kuliner
khas daerah Imogiri ini.
Setelah perut
kenyang, kami kembali memacu si putih mungil Ayla kembali ke pusat kota. Menyusuri jalan pinggiran kota yang minim
penerangan. Ohya, jangan lupa cuci tangan hingga bersih, jangan sampai bau sate
klathak membekas di dalam mobil terutama interior dan stir kemudi hehehe.
Tambahan, untuk
menuju ke Warung Sate Klathak Pak Bari dapat di tempuh melalui Jalan Imogiri
Timur, tepatnya Terminal Bus Giwangan kearah selatan sekitar 4.5 km.
No comments:
Post a Comment